Menyelami makna surah Al-Qiyamah




Ilustrasi. (inet)
Tadabbur Surah Al-Qiyamah

 Surat al-Qiyâmah diturunkan Allah di Makkah setelah surat al-Qâri’ah[1]. Tema besar surat ini mengungkapkan kedahsyatan hari kiamat. Menggambarkan suasana yang sangat mengerikan dan menegangkan bagi siapa saja. Terlebih saat manusia dibangkitkan. Hal ini sekaligus sebagai jawaban bagi orang –orang yang mengingkari dan mendustakannya [2].
Ayat pertama surat ini yang sangat menyentak “Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS.75: 1). Pada ayat ini Allah menggunakan “lâ nafi lil qasam” yaitu menguatkan sumpah dengan cara menafikannya. Tujuannya untuk mengcounter pengingkaran orang-orang kafir [3].
Mengapa Allah perlu bersumpah? Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hari kiamat. Hari kebangkitan yang pasti terjadi itu masih saja banyak yang mengingkarinya. Dan pada hari kebangkitan itu nantinya semua manusia akan menyesali dirinya. Jika ia telah berbuat baik, maka ia menyesal mengapa tak menambah amal baiknya. Apalagi jika ia berlaku buruk, ia akan sangat menyesal. Karena semua kebenaran saat itu benar-benar terungkap. Cobalah kita renungi ayat berikutnya, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS.75: 2)
Dan sangat mengherankan jika manusia meragukan atau bahkan mengingkari hari penentuan itu, “Apakah manusia mengira bahwa kami tidak mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?”. (QS.75: 3). Kelak akan Allah susun lagi bagian-bagian tubuhnya hingga sempurna . “Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna”. (QS. 75: 4). Sayangnya, justru kebanyakan manusia memperturutkan hawa nafsunya. Kemudian memperbanyak maksiat serta menunda-nunda taubat. Tak segan-segan ia menantang Allah dan mengatakan, “Bilakah hari kiamat itu?”. (QS.75: 6)

Hari Kiamat yang Sesungguhnya
Saat hari kiamat datang. Sulit untuk dibayangkan apa yang terjadi pada alam semesta. “Maka apabila mata terbelalak (ketakutan). Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan matahari dan bulan dikumpulkan”. (QS. 75:  7-9). Mungkin saat itu orang-orang yang mengingkarinya baru benar-benar percaya dan ia benar-benar menyesal. Bahkan ia pun kebingungan apa yang harus dilakukannya. Berlari, ke manakah tempat berlari. “Pada hari itu manusia berkata: “Ke mana tempat berlari?” Sekali-kali tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmulah pada hari itu tempat kembali”. (QS. 75: 10-12) Hari yang lari tak bermanfaat dan tak bisa membantu menyelamatkan orang-orang yang mengingkarinya. Tidak juga ditemukan persembunyian yang benar-benar bisa dijadikan tempat berlindung [4].
Pada hari itu diberikan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”. (QS.75: 13-15)
Di hari pengadilan Sang Maha Adil itu, tak ada seorang pun yang bisa memungkiri dirinya sendiri. Karena seluruh anggota tubuhnya menjadi saksi atas segala sesuatu yang diperbuatnya. “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan [5]”. Maka apapun alasannya tak akan mampu meringankan keputusan yang Allah jatuhkan padanya. Karena pada tabiatnya manusia sangat menyukai alasan demi menutupi kesalahan dan keburukan yang dilakukannya untuk membela dirinya
Padahal sesungguhnya manusia telah dibekali akal untuk berpikir. Juga hati yang jernih untuk dimintai pertimbangan. Senada dengan petuah bijak dari seorang ahli hikmah dari Asia tengah; al-Hakim at-Tirmidzi, ‘’Hari yang segala alasan menjadi tak berguna. Karena manusia telah dibekali dengan bashirah. Tapi ia menjadi buta karena hawa nafsunya. Padahal bashirah itu sebenarnya tahu bahwa ia takkan mampu mengingkari Tuhannya kalaulah tidak tertutup oleh nafsu’’[6].

Al-Quran Sumber Dakwah yang Dijaga
Al-Quran sebagai sumber yang membawa berita kebenaran tentang segala sesuatu. Termasuk di antaranya berita tentang hari kiamat; hari dibangkitkannya semua manusia untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya.
Mungkin karena inilah yang mendorong Nabi Muhammad hendak cepat-cepat menghafalnya. Mungkin karena takut lupa. Atau supaya beliau bisa cepat menguasainya kemudian segera disampaikan kepada umatnya. Tapi kemudian Allah menegur beliau. Allah yang memberikan kekuatan hafalan seseorang atau melemahkannya. Membuatnya cepat menguasai suatu hal atau sebaliknya. ‘’Janganlah kamu gerakkan lidah mu untuk (membaca) Al-Quran Karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya’’. (QS.75;16-19)
Karena itulah Al-Quran benar-benar menjadi kitab yang dijaga Allah. Terjaga dari segala bentuk pemalsuan baik dengan pengurangan atau penambahan bagian-bagiannya [7]. Karena itu, Allah menurunkan malaikat terbaik-Nya untuk mengajari Nabi Muhammad. Al-Quran disampaikan melalui talaqqi langsung Nabi SAW kepada Jibril AS dan Nabi Muhammad baru diperbolehkan.
Membaca setelah Jibril selesai membacanya. Orisinalitas inilah yang menjadi salah satu ciri dan karakteristik Al-Quran, terutama bila dibandingkan dengan kitab-kitab Allah yang lain. Apalagi buku-buku buatan manusia atau modifikasi karya-karya sesat mereka
Namun demikian tak otomatis membuat manusia dengan mudah menerima atau mempercayainya. Tak sedikit yang mengingkari dan mendustakannya. Bahkan menghina dan merendahkannya.

Kelalaian yang Memperdayakan
Sikap angkuh dan masa bodoh yang mengambil manusia sebenarnya dipicu oleh kecintaannya yang sangat pada harta dan dunia ini. Sehingga ia benar-benar merasa seolah-olah ia akan hidup selamanya.
‘’ Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia. Dan meninggalkan (kehidupan) akhirat’’. (QS.75:20-21)
Manusia bermegah-megahan dalam urusan dunianya. Sehingga kecintaannya pada materi dan kebendaan menjadi sangat mengkristal dan sulit dikikis. Inilah sebuah penyakit yang disinyalir Nabi SAW sebagai penyakit ‘’ al-Wahn’’ yaitu mencintai dunia dan terkejut mati. Dan saatnya kematian itu datang ia terperangah dan terkejut. Karena ia benar-benar tak memperkirakan sebelumnya. Bahkan mungkin ia berpikir akan hidup selama-lamanya.
Adapun orang yang beriman. Hari pertemuan dengan Tuhan-Nya adalah hari penantian yang sangat membahagiakan, ‘’Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat’’. (QS.75:22-23). Hari yang sempurna bagi orang-orang yang beriman. Karena mereka bisa melihat dan bertemu langsung dengan Allah. Tanpa ada hijab dan penghalang sedikit pun. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, ‘’Kalian akan melihat Tuhan kalian dengan mata kalian’[8]. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa itu terjadi tanpa penghalang sedikit pun. Dalam riwayat Abu Said al-Khudry lebih ditegaskan lagi.”…….Seperti melihat bulan pada malam bulan purnama yang tek terhalangi oleh awan” [9].
Karena itu orang beriman tidak pernah takut mati justru ia sangat mencintai kematian. Tergambar dalam sebuah hadits muttaqun ‘alaih, “Barang siapa yang mendambakan pertemanan dengan Allah, Allah pun mencintai pertemuan dengannya” (HR. Bukhari Muslim)
Mari kita simak, bait-bait puisi yang disenandungkan Khubaib bin Zaid menjelang penyaliban yang dilakukan kepada orang Kuffar Quraisy. Ini adalah bait-bait keberanian yang tak sedikitpun menampakkan ketakutan akan datangnya kematian. Justru dengan lantang ia menantinya.
Takkan kupedulikan selama aku terbunuh dalam keadaan muslim
Bagaimanapun juga kematian di jalan Allah
Demikian keagungan Dzatnya
Ia berkehendak memberkahiku sesuka-Nya [10]
Kebalikan apa yang dialami oleh orang-orang yang mengingkari hari kiamat. ‘’Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat’’. (QS.75: 24-25) Setidaknya tanda-tanda kemurkaan Allah telah mereka lihat. Mereka bisa merasakannya sebelum Allah benar-benar timpakan kepada mereka azab-Nya. Dan hari itu semua penyesalan menjadi tidak berguna.

Tanda-Tanda Dari Allah
Sebagaimana pada kekuasaan-Nya terdapat tanda-tanda,demikian pula pada makhluk ciptaan-Nya, Allah berikan tanda padanya agar ia mau mengingat Allah. Demikian halnya menjelang kematian Allah tak jarang memberikan tanda pada kita. Saat kita sakit, semestinya kita segera menyadarinya bahwa Allah mengirimkan sebuah tanda agar kita lebih siap lagi. Saat melihat atau mendengar kabar tentang kematian, itu juga sebuah tanda. Baik dia beriman pada Allah ataupun mengingkarinya
Ini adalah tanda-tanda kiamat kecil (sughrâ) yaitu kematian yang pasti dialami oleh semua makhluk-Nya yang bernafas. Sebelum kiamat besar (kubrâ) benar-benar datang. Yaitu hari kiamat yang meluluhlantakkan apa saja. Bukan hanya yang hidup tapi apa saja dan siapa saja, saat itu menjumpai kebinasaannya. Karena kekekalan dan kehidupan hari itu hanya milik-Nya. Seorang saja. “Semua yang ada di bumi itu akan binasa” [11].
Sekali-kali jangan, apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia)”. (QS. 75: 26-28)
Saat sakaratul maut dihadapinya ia benar-benar tak memiliki daya apapun. Yang ia tahu bahwa saat perpisahan dengan segala yang dicintainya akan segera terjadi. Semua sangkaannya akan menjadi sia-sia. Hari yang ia takuti akan segera datang. Saat yang paling ia benci akan menyambanginya. Segala keangkuhan dan kekuasaannya, juga uangnya tak akan mampu menggantikan suasana ketakutan itu sirna dan menjauhinya, “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”. Sebuah pertanyaan yang sebenarnya ia tahu jawabannya. Tapi ia tak mampu mengatakannya, karena taubat di detik-detik itu tidak diterima Allah.
Simaklah satu lagi penggambaran Allah terdapat peristiwa menjelang kematian ini, “Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan)” (QS.75: 29). Ia benar-benar menggigil ketakutan, dua betisnyapun mengatup. Tergambar di depannya segala bentuk kengerian dan kesendirian yang akan dijumpainya. Saat itu dua masalah bertemu. Adh-Dhahâk mengatakan, “Yaitu urusan jasad dan ruhnya. Keluarganya mengurus jasadnya. Sedang malaikat mengurus ruhnya. Ia bahkan tak tahu Ke mana jasad dan ruhnya dibawa oleh masing-masing mereka” [12].
Mereka seolah lupa bahwa ini semua merupakan implikasi dan dampak dari apa yang mereka perbuat di dunia. “Dan ia tidak mau membenarkan (rasul dan Al-Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat. Tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran). Kemudian ia pergi kepada keluarganya dengan berlagak (sombong)”. (QS.75” 31-33)
Ringkasannya ia melakukan empat dosa besar:
1. Mendustakan Rasul Allah dan Al-Quran
Mendustakan Rasul berarti tidak menerima segala hal yang dibawa olehnya. Termasuk Al-Quran, wahyu Allah yang dimandatkan padanya untuk disampaikan isi dan redaksinya secara utuh kepada umatnya.
2. Tidak mau mengerjakan shalat
Sebagaimana disinggung sebelumnya dalam surat al-Mudatsir ayat 43. Mereka tidak mengerjakan shalat, dan ini merupakan simbol keengganan untuk menundukkan hati kepada Allah. Sebuah simbol keangkuhan, simbol kesombongan yang sangat dimurkai oleh Allah, karena kebesaran hanya milik-Nya.
3. Berpaling dari kebenaran karena ego dan gengsinya
Sebagai akibat ia tak mau lagi mendengarkan nasihat dan masukan konstruktif. Ia abaikan kebenaran. Ia palingkan dirinya menjauhi kebenaran, demi gengsi dan egonya, apalagi jika kebenaran itu datang dari orang yang tidak disukainya atau karena ancaman polularitasnya atau karena takut kehilangan pengaruh di tengah kaumnya.
4. Sombong di depan manusia
Di ayat 33 ini secara spesifik justru Allah menggambarkan ia berlaku sombong di depan keluarganya. Jika ia sudah berani berlaku sombong dan angkuh di depan keluarganya apalagi di depan orang lain. Selaiknya ia bela dan sayangi keluarganya. Ia tunjukkan keramahan, cinta dan keteduhan. Namun yang terjadi justru sebaliknya, ia berinteraksi dengan kasar dan keras demi menunjukkan keangkuhannya.
Maka jatuhlah vonis celaka terhadap mereka dan apa yang mereka lakukan. “Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaan bagimu. Kemudian Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaan bagimu”. (QS.75: 34-35).
Kutukan ini diulang sampai empat kali. Sekali saat ia merenggang nyawa menghadapi kematian. Kedua, saat ia berada dalam kesendirian tanpa daya mendapatkan siksa kubur. Ketiga, saat ia dibangkitkan setelah hari kehancuran. Dan keempat kalinya, saat vonis terakhir benar-benar ia terima. Mendekam dalam kekekalan di neraka jahanam. Sepanjang masa yang hanya Allah saja tahu takarannya.

Petaka, Bermula Dari Kelalaian yang Berkelanjutan
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa bertanggung jawab)?”.
Manusia lupa, bahwa ia diciptakan dengan misi memakmurkan bumi Allah dan membawa misi penghambaan yang benar pada Allah semata. Dan semua itu ada pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Lantas apa yang membuatnya berkeyakinan bahwa ia akan hidup dan kemudian mati serta berakhir segalanya? Sebagaimana ia diperintahkan untuk beribadah dan dilarang untuk membangkang serta mendustakan agama-Nya, maka semua ada saatnya manusia diganjar atas perbuatannya. Tentunya sebelum itu ia akan diminta terlebih dahulu tanggung jawab atas amal-amalnya.
Sebenarnya yang membuat lupa, karena ia melalaikan asal kejadiannya. Dan ia tak pernah merasakan bahwa wujud serta eksistensinya di dunia ini adalah sebuah kenikmatan yang Maha Agung. “Bukankah dia dulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim). Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang laki-laki dan perempuan”. (QS. 75: 37-39)
Jika manusia mau mengingat asal kejadiannya ia akan segera sadar dan tahu bahwa Allah mampu membangkitkannya setelah dia mematikan semua makhluk-Nya, “Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (QS. 75: 40). Mahasuci Allah, Engkau Maha Besar.
Ibnu Katsir menukil sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud Shâhibussunan. Ibunda Aisya ra menuturkan sebuah riwayat, “Ada seorang laki-laki shalat di atas rumahnya. Dan ketika ia membaca ….. ia berkata: Subhânaka fa balâ (mahasuci Engkau maka benarlah). Kemudian saat ia ditanya, ia menjawab aku mendengarnya dari Rasulullah SAW”. Namun, Ibnu Katsir melemahkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud ini [13]. Sebagaimana pendapat Ibnu Jarir ath-Thabary, “hadits ini mursal dan saya tak menemukan satu pun yang marfu” [14]. Namun jika dibaca di luar shalat maka hal tersebut tidak ada perbedaan pendapat. Karena Ibnu Abbas dan Said bin Jubair juga menganjurkannya demikian [15].
Mahasuci Allah. Jika manusia tak lalai dan mau mengingat asal usulnya, tentu ia akan jauh dari petaka dan azab Allah sejak berada di dunia. Sebagai gantinya kelak di akhirat akan Allah beri kesempatan yang sangat mahal, yaitu bertemu langsung dengan-Nya dan mendapatkan pantulan cahaya-Nya yang menerangi segala kegelapan. Allâhumma Amin.

Catatan Kaki:
* Sebuah tadabur surat Al-Qiyâmah (Hari Kebangkitan): 75 Juz 29.
[1]  Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulumi Al-Quran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hal.22, dan lihat Imam Badruddin az-Zarkasyi, al_Burhan fi Ulumi Al-Quran, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.I, hal 249
[2] Prof Dr. Jum’ah Ali Abd Qader, Ma’âlim Suar Al-Quran, Cairo: Universitas Al-Azhar, Cet.I, 2004 M/1424 H, Vol.2, hal .732
[3]  Lihat: Abu Zakaria al-Farrâ, Ma’aniy Al-Quran, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 2002 M/1423 H, Vol.III, hal.100, juga lihat: Imam az-Zamakhsyary, al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iqu at-Tanzil, Cairo: Maktabah Musthafa al-Halaby, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hal.163
[4]  Imam al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami Al-Quran Cairo: Darul Hadits, 2002 M / 1422 H, Vol.X, hal.83
[5]  QS. Annur (24): 24
[6]  Imam al-Hakim at-Trimidzi, Nawadir al-Ushul fi Ma’rifai Ahadits ar-Rasul, Cairo: Dar ar-Rayyan, Cet.I, 1988 M / 1413 H, Vol.2, hal.457
[7]  Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Kaifa Nata’ âmal ma’a Al-Quran, Beirut: Darusysyuruq, Cet.I, 1999 M/1419 H, hal 28
[8]  HR. Al-Bukhary dalam kitab Tauhid, hadits nomer: 7435 (Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fathul Bâri bi Syarhi Shahih al-Bukhary, Cairo: Darul Hadits, Cet.1, 1998 M / 1419 H, Vol.XIII, hal.497)
[9] HR. Al-Bukhary dalam kitab Tauhid, hadits nomer: 7436 (Fathul Bâri, Ibid, hal.499)
[10] Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy, al-Imân wa al-Hayâh, Cairo: Maktabah Wahbah, Cet.16, 2007 M /1428 H, hal.160
[11]  QS. Ar-Rahmân (55): 26
[12]  Imam Ibnu Jarir at-Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats a-Araby, Cet.I, 2001 M/1421 H, Vol.29, hal.233
[13]  Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah Vol.IV, hal.586
[14] Imam Ibnu Jarir ath Thabary, Jâmi’ al-Bayân, Ibid, Vol.XXIX. hal.29, lihat juga tesis penulis , Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’any Al-Quran li al-Ma’iny, Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas Al-Azhar, 2006 M, Vol.II, hal.758
[15]  Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran al-Azhim, Ibid

0 komentar:

Posting Komentar